Membangun Pagar Kebudayaan

image_url

Oleh: Fahri Hidayat

Serangan modernisasi (baca: westernisasi) yang bertubi-tubi membanjiri mentalitas generasi muda kita, terutama melalui televisi, media massa, bahkan media sosial, lambat laun melahirkan generasi baru yang “melarikan diri” dari budayanya. Simbol-simbol yang dianggap mewakili modernitas menjamur begitu cepat dan menggerus nilai-nilai budaya asli kita. Pengaruh negatif dari modernisasi ini harus diantisipasi dengan baik, terutama oleh para pendidik dan orang tua, agar tidak berlanjut menjadi krisis identitas kebudayaan bagi generasi muda kita.

Banyak masyarakat mengeluh tentang kurang berfungsinya media dalam menyampaikan pesan-pesan moral yang edukatif. Sinetron remaja yang ditayangkan di televisi, misalnya, lebih menonjolkan kisah-kisah asmara dan percintaan yang sebenarnya kontra-produktif dengan tahap perkembangan remaja itu sendiri. Ironisnya, tidak jarang setting yang dipilih untuk adegan yang tidak edukatif itu adalah sekolah yang seharusnya menjadi tempat para siswa menata masa depannya. Pesan moral yang disampaikan dalam sinetron-sinetron itu pun seringkali tidak jelas. Bahkan cenderung menampilkan kesan glamour yang sesungguhnya tidak sesuai dengan kebudayaan yang seharusnya dibangun dalam pendidikan.

Di sini, ajaran-ajaran pendidikan Ki Hadjar Dewantara menjadi penting untuk dihidupkan kembali. Pendidikan harus dihubungkan dengan kebudayaan. Pemikiran Ki Hadjar tersebut salah satunya tercermin pada saat didaulat menjadi Menteri, beliau menggabungkan departemen pendidikan dengan kebudayaan. Pendidikan yang diajarkan di sekolah, masyarakat, dan keluarga harus menjunjung tinggi moralitas yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan budaya. Hal ini sangat penting dilakukan untuk membentengi moralitas generasi muda kita dari gempuran kebudayaan asing yang saat ini sulit dibendung.

Salah satu identitas bangsa yang perlu dijaga dan dipertahankan bersama adalah identitas bahasa. Saat ini, terjadi kecenderungan di tengah masyarakat baik pada level masyarakat bawah, politisi, bahkan sampai dengan akademisi di kampus dan perguruan tinggi untuk lebih memilih menggunakan istilah-istilah dalam bahasa asing ketimbang bahasa ibu pertiwi. Sebenarnya tidak menjadi persoalan menggunakan istilah dalam bahasa asing jika memang istilah tersebut belum ada di dalam bahasa Indonesia, namun yang menjadi pertanyaan besar adalah ketika kita justru memilih untuk menggunakan istilah asing yang sebenarnya sudah ada di dalam kamus bahasa Indonesia. Sebagai contoh, istilah yang sering digunakan dalam percakapan publik kita adalah “impeachment” untuk menunjukkan maksud penggulingan paksa kepala negara. Padahal sebenarnya di dalam kamus bahasa Indonesia juga terdapat banyak sekali kata yang bisa digunakan untuk mengungkapkan maksud yang sama, seperti “pencopotan”.

Pada awal kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara banyak mempopulerkan istilah-istilah yang digali dari budaya lokal seperti “tutwuri handayani” yang sekarang menjadi slogan pada logo Depdikbud. Bahkan istilah “pancasila”, “berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri), dan “bhineka tunggal eka” (berbeda-beda namun tetap satu jua) yang merupakan slogan Negara juga diambil dari bahasa lokal. Istilah-istilah yang dikenalkan dalam dunia pendidikan juga merupakan istilah asli bahasa Indonesia, seperti “cipta”, “karsa” dan lain sebagainya.

Saat ini, seolah-olah muncul kesan bahwa penggunaan istilah-istilah lokal dirasa kurang meyakinkan. Orang cenderung memilih menggunakan istilah “chacacter building” ketimbang “pembangunan karakter”, “active learning” ketimbang “pembelajaran aktif”, “impeachment” ketimbang “pencopotan”, dan lain sebagainya. Menguasai bahasa asing, seperti bahasa Inggris, tentu merupakan hal yang positif dan harus didukung. Namun penguasaan bahasa asing seharusnya bersifat fungsional, dalam artian bahasa tersebut digunakan pada tempatnya, seperti pada seminar internasional atau kepentingan akademik yang mewajibkan hal itu. Adapun untuk komunikasi sehari-hari, maka penggunaan bahasa asing jelas tidak relevan. Jadi, belajar bahasa asing bukan berarti harus meng-asingkan diri sehingga justru terkesan kebarat-baratan atau ketimur-timuran.

Dalam hal ini, kita harus belajar dari jepang yang dengan semangat kaizen-nya negeri sakura tersebut sangat terbuka pada perkembangan-perkembangan baru yang ada di dunia luar, namun pada saat yang sama tetap mempertahankan identitas dan jati diri bangsanya. ***

Leave us a Comment