LIMA KETIDAKPATUTAN DALAM MENDIDIK ANAK USIA DINI

image_url

Anak usia dini merupakan anak yang berusia 0 hingga 6 tahun. Masa itu terbagi dalam empat tahapan, yaitu : masa bayi dari usia lahir sampai dengan 12 bulan (satu tahun), masa kanak-kanak/batita dari usia 1 tahun hingga 3 tahun, dan masa prasekolah dari usia 3 tahun sampai dengan 6 tahun. Ahli pendidikan memandang usia dini merupakan masa keemasan (the golden age) yang hanya datang sekali dan tidak dapat diulang. Bloom mengemukakan bahwa perkembangan intelektual anak usia dini terjadi sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupannya. Sekitar 50% kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Ini berarti perkembangan yang terjadi pada usia 0-4 tahun sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada usia 4-18 tahun. Pada 4 tahun pertama merupakan kurun waktu yang sangat peka terhadap kaya-miskinnya lingkungan akan stimulasi. Perbedaan kecerdasan anak yang lingkungannya kaya stimulasi dengan yang berada di lingkungan yang miskin stimulasi mencapai sekitar 10 unit IQ. Selanjutnya perbedaan sekitar 6 unit terjadi pada usia 4-8 tahun.

Untuk kepentingan perkembangan anak, didirikanlah Kelompok Bermain (KB) atau play group sebagai tempat belajar bagi anak yang berusia 3 sampai 4 tahun dan Taman Kanak-kanak (TK) atau Raudhatul Athfal (RA) yang memberikan pelayanan pendidikan untuk anak yang berusia 5 hingga 6 tahun. Pada prakteknya, sering terjadi kekeliruan. Masyarakat menyekolahkan anaknya yang berusia 5 tahun di KB (seharusnya ia menyekolahkan anaknya di TK), dan sebaliknya ada masyarakat yang menyekolahkan anaknya yang berusia 4 tahun di TK/RA (padahal seharusnya ia menyekolahkan anaknya di KB). Sebenarnya guru KB dan TK mengetahui kekeliruan tersebut, sayangnya mereka tetap menerima karena asumsi anak berada pada masa yang sama, yaitu masa usia dini. Padahal pembagian KB dan TK dilakukan karena dalam konteks kesesuaian usia anak, mereka memiliki perbedaan perkembangan motorik, emosi, kosakata, bahasa, matematika, dan musik instrumental. Itu menjadikan guru sering menyama-ratakan bentuk kegiatan bermain bagi anak usia dini. Tanpa disadari permainan tersebut telah “menyiutkan nyali” anak yang tidak mahir karena faktor usia. Akibatnya KB maupun TK bukan lagi menjadi surga bermain bagi mereka dan besoknya mereka akan enggan bahkan takut pergi ke KB maupun TK.

Kekeliruan tersebut semakin diperburuk oleh lima ketidakpatutan dalam mendidik anak usia dini. Pertama, di bidang matematika. Guru mengajarkan anak untuk menghafal nama angka-angka tanpa memahami konsep bilangan yang disebutkan, seharusnya anak usia dini diajari konsep berhitung dengan menggunakan benda-benda konkrit.

Kedua, di bidang menulis. Guru mengajarkan anak usia dini menulis dengan mengikuti titik yang sudah dibuat oleh guru, dan anak juga tidak memahami apa yang ia tulis. Seharusnya guru membiarkan anak usia dini bereksplorasi sendiri mencoba menulis huruf-huruf atau kata-kata yang ingin mereka buat. Guru hanya memberikan contoh (jika diperlukan).

Ketiga, di bidang membaca. Guru sering meminta anak usia dini menghafal abjad dan menuliskannya di buku dengan jumlah tertentu. Seharusnya guru mengajarkan anak usia dini untuk mengenal huruf lewat tulisan yang ada pada benda-benda yang ada di sekitarnya.

Keempat, di bidang menggambar. Guru sering memerintahkan anak usia dini menggambar dengan mengikuti contoh yang diberikan oleh guru. Seharusnya guru membiarkan anak bebas berimajinasi dan bereksplorasi saat ingin menggambar atau mewarnai sesuatu.

Kelima, di bidang sains. Guru mengajarkan tentang sungai, laut, gunung, dan lainnya hanya dengan bercerita tanpa menggunakan benda konkrit yang dapat membantu anak usia dini dalam memahami sesuatu. Seharusnya guru mengajarkan tentang sungai, laut, gunung dan lainnya dengan menggunakan gambar serta objek.

Sebagai sebuah simpulan, penyelenggaraan PAUD harus mempertimbangakan tahapan perkembangan anak sesuai dengan usianya, sesuai dengan keunikan individu, serta faktor lingkungan dan sosial budaya anak. Konsep yang tepat dengan masalah ini adalah Developmentally Appropriate Practice (DAP). Sebaiknya para orang tua, guru PAUD, dan para aktivis PAUD agar mengkaji dan mengembangkan konsep DAP untuk menyelenggarakan PAUD yang benar-benar mampu mengungkap dan mengangkat potensi anak usia dini lebih optimal, bukan menyelenggarakan PAUD yang asal-asalan mengingat semakin meningkatnya perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap program pendikan anak usia dini.

Leave us a Comment