RENUNGAN USIA

image_url

Oleh: Fahri Hidayat*

Saya masih ingat, saat pertama kali menyandang status sebagai mahasiswa baru pada pertengahan 2007 silam. Saat itu, saya merasa memasuki dunia yang benar-benar baru; lingkungan baru, teman-teman baru, dan – tentunya – atmosfer keilmuan yang juga baru. Saya seperti memasuki sebuah wilayah yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Apalagi, saya mengenyam pendidikan SMP dan SMA di sebuah pesantren yang memang sangat membatasi ruang gerak saya untuk lebih banyak melihat “dunia luar”.

Saat pertama kali mengikuti acara diskusi di kampus, saya merasa seperti bocah yang masih  lugu dan polos dan tidak mengerti apa-apa. Saya melihat kakak-kakak angkatan saya begitu memukau dalam menyampaikan gagasan-gagasannya ketika berdiskusi. Mereka tampak sangat cerdas. Aura wajah mereka sangatintelek. Semua itu, pada akhirnya menginspirasi saya untuk belajar agar bisa seperti mereka. Saya berjuang keras untuk membuang "sisa-sisa jiwa remaja" saya. Saya ingin tampil dewasa, jauh melampaui usia saya yang saat itu baru 18 tahun. Bahkan, saya masih ingat, saya sangat marah ketika ada teman yang menganggap saya masih kecil dan belum dewasa. Intinya, saya tidak senang dianggap masih bocah yang kerjaannya hanya nongkrong dan bermain dengan teman sebaya. Saya ingin dianggap dewasa, setidaknya selevel dengan kakak-kakak angkatan saya yang pada saat itu usianya pada kisaran 25 tahun.

Itu cerita masa lalu. Saat ini, usia saya sudah menginjak 27 tahun, berjalan menuju 28 tahun. Artinya, saya sedang berada di usia yang saya impikan ketika masih "bocah" 18 tahun. Lalu, apakah saya merasa bahagia? Dalam banyak hal, tentu iya. Akan tetapi, di usia ini, saya justru merindukan masa-masa saat pertamakali menginjak bangku kuliah. Saya rindu saat belajar di asrama bersama teman-teman, saat nongkrong bersama di angkringan, di bawah jembatan, di tepi sungai bengawan solo,  saat menghabiskan malam dengan canda tawa, dan semua kenangan yang pernah mewarnai hari-hari itu. Hari-hari saat saya masih seorang bocah.

Akhirnya saya mencoba untuk merenung. Dulu, saya gelisah karena dianggap masih remaja dan ingin segera menjadi dewasa. Sekarang, saya justru khawatir jika menjadi “dewasa” lebih cepat dari waktunya. Di dalam perenungan itu, akhirnya saya mendapat kesimpulan bahwa kita tidak akan pernah bahagia jika terus menerus memikirkan “apa yang akan kita lakukan” sehingga justru tidak menikmati “apa yang sedang kita lakukan”. Kita harus benar-benar menghadirkan jiwa dan raga kita untuk menikmati usia kita saat ini. Menikmati dengan selalu bersukur kepada Allah atas karunia-Nya yang tidak pernah terputus, dengan tidak membuang-buang waktu sia-sia, dengan terus menebar manfaat bagi sesama, dengan melakukan kebaikan-kebaikan yang mendamaikan hati kita.

Dan akhirnya, semua akan indah pada waktunya. Semua orang pasti sepakat bahwa pemandangan pantai sangat menggoda. Sepoi angit, desir ombak, kicau burung-burung, dan lambaian pohon-pohonnya menarik setiap hati untuk menikmati keindahannya. Tapi, jika kita dipaksa untuk menikmati pantai pada tengah malam saat kita sangat mengantuk, maka memandang pantai tidak lagi terasa indah, karena itu bukan pada waktunya. Hal paling indah di tengah malam adalah tidur pulas. Bukan malah jalan-jalan di pantai. Maka, nikmatilah waktu dan usia kita hari ini dengan penuh kesyukuran. Tidak perlu berangan-angan untuk ingin  segera ke masa depan, atau justru menenggelamkan diri dalam penyesalan masa lalu. Mari kita isi hari ini dengan penuh bahagia. ***

*Penulis adalah dosen pada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Purwokerto

Leave us a Comment